Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dusta

 
Photo by Elizaveta Dushechkina

"Siapa yang berdusta bukan termasuk kaum kami...," kata Muhammad Shallawlahu Alaihi Wasallam.

Wajar jika kata-kata itu datang dari suri tauladan bagi manusia. Dia memang mendapat tugas untuk mengingatkan, dan di sini 'kata' menjadi tanda sekaligus pembatas yang tegas dan tak boleh dilanggar. Sebagai Kekasih Tuhan, Muhammad memang senantiasa taat. Begitu pun sebagai manusia, ia jadi tanda yang kamil. Dan karena itulah jadi penting hadits tersebut diulang 'siapa yang berdusta bukan termasuk kaum kami', semata untuk menyelamatkan manusia agar tak gemar berdusta karena amat mendahulukan perut dan kelamin.

Tapi, dusta adalah siasat bertahan hidup paling primitif. Entah dimulai sejak kapan di jutaan tahun lampau, manusia--spesies pengintai-pengumpul yang lemah hingga kini berada di puncak rantai makanan--bermain muslihat untuk menguasai dunia bahkan sesamanya. Kenyataan tersebut memang agak sulit kita kesampingkan dan kecenderungan otak manusia yang juga demikian: filling the gap, meski banyak yang sengaja mengada-ada sesuatu untuk sekadar catatan akreditasi, nama baik, pasangan hidup, atau menghindari cap murtad dari tokoh agama, misalnya. 

Ia karib dengan dusta, sebab, hidup bagi manusia mungkin tak lebih kutukan paranoia di sepanjang abad.

Kedengarannya cukup aneh, juga ketika Seth Stephens-Davidowitz menuliskan temuannya "orang bisa bersikap sangat jujur dalam melakukan pencarian (-penelusuranya di internet)". Dalam kata lain, melalui internet manusia bisa menyulap pribadinya menjadi apa pun. Manusia dengan bebas bisa mencitrakan relijiusitas lewat status paling anyar, sosok yang baik, taat, rendah hati, dsb. Tapi itu citra, bak gelembung sabun. Sampai di sini jelas seperti yang sering dikatakan manusia bahwa "dunia memang tidak membutuhkan banyak teori", dan kita tahu memang tidak ada teori kepribadian yang baik-arif sedang diterapkan. Kecuali manusia hendak berupaya mendustai sesamanya.

Kepribadian manusia memang dipertunjukkan di tempat umum. Namun, sering kali diuji di kala sendiri. Sesuatu yang privat. Tak tersentuh oleh banyak orang. Seperti kata mantan ilmuan data Google itu, Stephens-Davidowitz, yang berujar karena (manusia) merasa memiliki privasi saat menggunakan papan ketik, orang-orang mengakui hal-hal paling aneh. Seth mengambil metode sederhana dengan memanfaatkan big data, yang ia sebut science at scale (sains sesuai ukuran).

Dunia memang unik, terlebih lagi ketika internet semakin tak berjarak dengan kehidupan. Ruang digital bertopang pada akses internet dan keramaian. Mungkin itu sebabnya Seth mengambil tempat yang penting: orang bisa mengaku sebagai apa saja di ruang digital, mereka dapat mengumumkan bahwa sesuatu ini baik dan itu buruk, tapi dalam wilayah privat (saat sendiri) orang-orang memiliki minat yang besar untuk menipu orang lain. "Jangan memercayai apa yang orang katakan kepada Anda, percayalah pada apa yang mereka lakukan".

Di ruang digital--di ruang yang entah ke arah mana kita harus menunjuk,  media sosial menghimpun banyak hal, termasuk rahasia yang tidak kita bicarakan pada orang terdekat sekalipun. "Saya berani menebak bahwa Anda terkadang mengetikkan sesuatu di kotak pencarian yang mengungkapkan perilaku atau pikiran yang enggan Anda akui di depan umum...." kata mantan ilmuan data Google itu, "(di ruang digital, di ruang sosial yang terhubung internet itu) kita menampilkan diri kita yang sudah kita perbagus, bukan diri sejati kita!"

Manusia sepertinya memang tidak pernah selesai dengan dirinya sendiri.

Tapi, apa benang merah dari cerita Seth terhadap hadits di awal?

Suatu ketika Rasulullah SAW meninjau pasar dan menemukan adanya penjual yang berdusta atas dagangannya. Penjual itu meletakkan/menyusun dagangannya yang berkualitas bagus di bagian depan seraya menutupi barang dagangan lain yang kualitasnya jelek. Dengan maksud, barang yang kualitasnya tidak-bagus ikut dijual bersamaan tanpa sepengetahuan pembeli. Tentu hal ini akan merugikan pembeli, maka Rasulullah SAW. pun menegurnya.

Citra mungkin sesuatu yang prinsipil. Orang-orang membangun citra, baik untuk barang, jasa, dan dirinya (baca: personal branding). Dan kita nampaknya sadar bahwa yang prinsipil tidak dibangun atas dusta: yang indah diceritakan namun kosong saat ditengok; tidak memiliki kesesuaian antara citra dan kualitas. Kita masih ingat banyak yang sengaja berdusta atas sesuatu untuk sekadar catatan akreditasi, nama baik, dan....

Sementara dunia berjalan--melupakan empat-belas abad yang lampau. Saya kembali membaca apa yang ditulis Seth, "Kadang himpunan data baru mengungkapkan perilaku, hasrat, atau kekhawatiran yang tak pernah saya perkirakan."

Kita kembali mengingat: siapa yang berdusta bukan termasuk kaum kami. Kita kembali ke dunia sehari-hari, semoga hasil studi Seth hanya berlaku bagi masyarakat digital. Kita tetap dalam kebaikan. Semoga.




2 komentar untuk "Dusta"

  1. Luar biasa, semangat berkarya mas arya. Semoga dapat menginspirasi dan menggugah banyak orang untuk menjadi lebih baik lagi melalui tulisan.

    BalasHapus
  2. Dunia bukan sekadar teori, kece.

    BalasHapus