Puzzel
[Sumber: Pexels.com @Maskur Spiske] |
Inikah wajah-wajah kehilangan? Kita lihat ranting patah dan serumpun ilalang mati
juga hembus angin yang mengitarinya. Saat matahari malu-malu berteduh
ke arah barat. Semua begitu harmoni.
Dan kita bertafakur dalam kata
hilang.
- Untuk seorang guru: Rahmatul Ummah.
Sebuah komunitas kreatif ibarat potongan puzzel. Ia berkesempatan menggenapi yang lain. Begitu mestinya. Tapi di kota ini, di luar metafora, ‘potongan puzzel’ tidak pernah dilihat sebagai suatu yang (berikhtiar) menggenapi. Ia hanya dianggap krikil. Bak sempalan.
Itu mengapa ia ‘patah tak tumbuh’ dan ‘hilang tak berganti’.
Begitu agaknya monopoli dalam sistem realitas berjalan. Bahwa banyak hal yang tumbuh dipaksa patah bukan dengan sendirinya. Akan tetapi oleh sebuah pemeo, di tengah-tengah masyarakat kita: semua seiman di hadapan uang. Dan sebuah potongan puzzel tak masalah hilang atau dihilangkan. Toh dengan uang, puzzel-puzzel lain bisa dipesan, dibangun, dirias dan tak jarang ditunggangi.
Potongan rupa puzzel yang dibeli itu yang jadi masalahnya. Sementara kita tahu, kreativitas bukan soal suatu yang statis—yang jikalau nampak serupa bisa dipas-paskan saja. Melaikan apa yang tetap bergerak—dinamis—sekalipun dalam kesendirian. Meski pada akhirnya kreatifitas yang terus menyendiri tidak pernah disebut komunitas kreatif.
Tapi sebenarnya apa yang dikehendaki dari sebuah komunitas, yang dilabeli kreatif?
Konon, di negeri yang amat jauh—dan entah dinamai apa. Kreatif serupa anu-ge-rah (sengaja ditulis per suku kata) dan keluar dari wilayah bahasa—apalagi yang saya prediksi pada mula-mula tulisan ini. Sebab kreativitas disusun dari ide serta cita-cita luhur pendahulunya. Di sana teks-teks diagungkan. Begitulah kiranya teks sapu jagad berhasil dibenahi berulang-ulang dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. “Kumpulan teks sapu jagad ini adalah merupakan hak inisiatif dari pemerintah,” ujar salah satu tokohnya.
Dengan mudah dapat kita terka bahwa kreativitas semacam itu tidak lahir dari pesanan. Kreativitas yang lahir atas inisiatif dan punya daya akomodatif seperti pada negeri dongeng itu yang dibutuhkan. Sungguh sebuah bentuk sistem kepemerintahan yang inisiatif cum kreatif.
Tapi apa boleh buat, kita mesti banyak mengelus dada sendiri, dongeng tak mungkin jadi kenyataan di sebuah kota yang murung ini. Lebih-lebih disayangkan, di abad sekarang ini tidak ada bentuk pemerintahan yang semacam itu, sekalipun seratus-duapuluh-empat ribu lebih mata pilih di sebuah kota dibayar untuk mengaminkannya. Dan suara yang dibayar hanya akan riuh ketika ada iming-iming bayaran.
Yap! Kita tahu apa yang kemudian diilhami oleh cerita negeri dongeng tersebut. Komunitas kreatif tidak mungkin dilahirkan dari sebuah bayaran manggung atau interupsi-interupsi yang sifanya titah. Sebab jikalau demikian adanya, karena kesepakatan umum, kreatifitas tidak akan melahirkan apa-apa. Ia gagal membangun habitus, kecuali riuh.
Riuh, ingar dan kata yang semakna dengan itu, memang menegaskan sebuah pengaruh. Akan tetapi pengaruh sering kali bermuara pada keaku-akuan. Dan kiranya itulah pekerjaan-rumah paling besar yang tak kunjung selesai.
Lalu, adakah komunitas kreatif? Mungkin ada, mungkin juga tidak.
Mungkin ada yang jauh dari riuh dan memilih bungkam sambil merumuskan agar berkelanjutan dan tidak dihitung.[afafLabs]
Posting Komentar untuk "Puzzel"