Memoar - Obsesi, Refleksi dan Kasih-Sayang Hanyalah Sebuah Mixtape
Setelah cahaya bunga api terakhir padam di ruang pentas berlatar belakang langit, kerumunan orang kembali memenjarakan kebahagiaannya masing-masing, mengambil jalan sunyi dan pulang bersama lelah yang dipadatkan jadi refleksi. Tapi tidak ada satu hal pun yang dimulai dan diakhiri semudah mengganti angka pada tahun di kalender bekas.
[pexels.com : @Pawel L] |
Sejak itu, orang-orang mulai terpenjara dalam sebuah batas antara hari-hari lalu dan esok. Dan sejak itu pula, tiap tanggal 1 Januari tak lagi dipandang sebagai tapak pertama sebuah tahun, ia malah diubah jadi tanda serta dinding pemisah.
Ada yang memberi lingkar pembatas di kalender. Ada yang menandai catatan di ponsel. Ada yang memisahkan masa lalu dengan sebuah alarm. Di sebuah status media sosial, di meja makan, di jamban, dan tidak sedikit yang lupa kalau ada yang harus ditandai sebagai masa lalu.
Kita tahu itu keinginan banyak orang: ketika batas dilewati dan tanda dilalui maka terjadi sebuah keterpisahan dari hal yang sudah (lampau). Atau semua malah serba berkebalikan, diam-diam kita menyadari, justru saat batas serta tanda dilalui—sekaligus dilewati, selamanya, tidak ada yang namanya keterpisahan. Dengan kata lain tidak ada yang benar-benar mengalami keterpisahan, termasuk masa lalu dan masa depan.
Manusia terikat? Yap! Tapi saya tidak tahu ada apa sebenarnya.
Hanya sekadar menebak-nebak. Barangkali Yang Kekal memang sengaja demikian. Menautkan masa lalu dan manusia sebagai bangunan yang holistik untuk masa depan. Tapi di sini, masa lalu bisa menjadi sebuah senjata dalam penguasaan manusia. Bukan semata-mata untuk menyiksa batinmu, Ferguso. Atau membuatmu meraung-raung di atas bantal, Esmeralda. Bukan. Bukan seperti itu! Melainkan seperti ungkapan yang bisa kita dengar dari Michael Stürmer (sejarawan Jerman yang juga anggota pendiri Klub Diskusi Valdai): “di negeri yang tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan konsep, dan menafsirkan masa lalu.”
Pada posisi ini, mau tidak mau—suka tidak suka, sejenak kita harus melupakan lirik dari lagu Inul Daratista, yang begini pelafalannya: masa lalu biarlah masa lalu, jangan kau ungkit.... Tapi dalam memoar ini bukan semata-mata soal keterpurukan, wahai Ferguso dan Esmeralda.
“Penguasaan masa lampau,” tulis Asvi Warman Adam, “untuk mengendalikan masa sekarang.” Adam memberi contoh pada pencapaian di bidang antariksa saat Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Lalu Adam melanjutkan, “mereka mendarat di bulan bukan untuk menguasai bulan, melainkan untuk mengontrol bumi.”
Terlepas dari apapun efek sampingnya, kita bisa menangkap sebuah ilham: bentuk kerja-kerja di masa lalu dapat diproduksi dan dikontruksi ulang menjadi bentuk tertentu untuk membangun role-mode yang menjadi nilai tawar di masa sekarang. (Halah! Udah kaya’ calon pemimpin yang mulai start jualan iming-iming)
Tentu pengalaman dari masa lalu, serapih apapun kemasannya akan selalu disisipi keresahan. Misalnya, ulasan masa lalu untuk susunan sebuah refleksi akhir tahun. Dan, kita sudah terbiasa mendengarnya. Dimana masa lalu diringkas dan masa depan dipangkas. Perlu-tidak-perlu refleksi menjadi penting. Syahdan, kata-kata refleksi disusun dengan amat sempurna dan tidak mengikutsertakan celah. Sekalipun bagunan sejarah (bagian individu) itu lengkap dengan kenyataan yang amat dipenuhi kegagalan, kebengisan juga penderitaan.
Dalam konteks menyoal refleksi, belakangan ini, memang manusia berlomba jadi yang paling heroik. Sejalan dengan maksud Adam dalam konteks yang lebih general, untuk menguasai. Manusia (amat kesepian) ingin menguasai sesamanya. Ia butuh pengakuan di tengah sesamanya yang banyak. Terutama ketika kepercayaan diri jadi buta dan ‘refleksi’ menjadi produk yang diider ke telinga banyak orang.
Refleksi, sampai di sini, telah melewati tanda. Ia dibangun dan dikeluarkan dari sekadar arti dalam wilayah linguistik. Ada makna dan potensi yang lebih luas dari sekadar pengertian. Jadi, banyak pihak yang menggunakannya untuk merebut perhatian pihak lain, tanpa memberikan makna baru.
Ia melihat. Ia tahu: sesuatu crowding. Ia membagi refleksi akhir tahun sebagai stimulan.
Sekilas refleksi sebagai stimulan sungguh tidak penting. Sampai ketika stimulan yang angkuh itu telah menggiring ke tubir jurang. Di sana refleksi tidak sekadar main-main. Ia memiliki efek. Pelik, sengit dan mustahil mengakomodir pribadi manusia seutuhnya. Pada saat seperti itulah ada orang yang cemas. Sebab tingkah kebanyakan orang tidak lahir dengan titik fokus presedennya.
Ringkasnya bisa dipahami seperti ini: obsesi (menguasai apapun termasuk manusia di luar diri sendiri) mendorong subjek melakukan refleksi (sebuah gerak terlatih yang dihimpun dari pengalaman ataupun informasi yang dihimpun); refleksi tidak selamanya dibangun oleh pengharapan untuk sebuah perbaikan, umumnya refleksi disusun dengan malipulatif untuk membangun citra dengan pengharapan terhadap penguasaan yang menjadi obsesinya di awal.
Orang satu menawarkan pengalamannya (meski sering kali disisipi kebohongan agar lebih mengesankan) kepada orang lain. Dalam haribaan orang yang terkesan itu, pengalaman tadi diteruskan. Diteruskan lagi. Lagi-lagi diteruskan. Terus-menerus sampai berdiri bangunan yang fanatik. Tapi dalam lima detik (karena saya lola), kita tahu bahwa kehidupan bukan yang keramat. Bukan suatu wilayah yang menutup dialog. Juga bukan wilayah angker yang dicetak dengan suara/persepsi/latar belakang sosial/ekonomi yang sama.
Tapi saya kira tak demikian, Ferguso. Kehidupan malah belakangan ini penuh refleksi-refleksi yang mengehendaki keseragaman. Menolak perbedaan dengan klaim ‘hadir dengan sesuatu yang beda”. Andai terjadi perbedaan, ‘ia yang lain’ diasingkan.
Saya tidak tahu mengapa obsesi untuk diingat dan dikenal begitu mati-matian diperjuangkan. Yang saya tahu sebuah pribahasa yang hidup di dunia manusia: tak kenal maka tak sayang. Bersamaan dengan itu saya akhirnya mengerti, di dunia yang makin tua ini, sebab mendasar kenapa orang-orang berlomba mengenalkan dirinya hanyalah dipicu satu sebab, tidak-adanya saling-sayang. Dunia luas, hati manusia—dari masa ke masa—yang sempit, dan kasih-sayang kehilangan tempat. Sudah direlokasi, katanya, untuk sebuah obsesi.
Yang penting untuk catatan ialah bahwa obsesi akan keteraturan; refleksi demi pembenahan dan kasih-sayang begitu asing adanya. Ia enak didengungkan. Ia merdu didengarkan. Ia hanyalah sebuah mixtape.
Selamat bertahun baru.[]
Gila ini mah kereeeen
BalasHapus