Tragedi
Ragu-ragu dan tiada harapan, kapan dua buah frasa ini keluar dari kategori tragedi? Di negeri ini, tiap kali ada gelaran pesta demokrasi.... Tiap kali kita menyaksikan kejahatan, kali itu juga yang melakukan salah akan berdalih, seakan tidak punya lokus kendali: manusia memang tempatnya salah dan khilaf.
Ganjil.
Menariknya, di suasana penghayatan hidup merdeka yang disusun dari sejarah penjajahan, tindak korupsi dan eksploitasi dalam segala lini, kejahatan hanya disikapi sebagai pemakluman paling manusiawi.
Saya jadi teringat Pyrho, pelopor skeptisisme Yunani, pernah mendehamkan sebuah konklusi yang gemetar, manusia tidak mungkin memiliki penilaian terhadap apapun. Alasannya, selalu ada kontradiksi pada persepsi indra dan pengetahuan, bahkan, pada analisis pengetahuan.
Hari ini, mungkinkah kita tidak berpengetahuan sehingga 'berdiam sebagai tempat' yang acap kali salah dan melulu khilaf? Atau, apa mungkin 'sebagai tempat' kita kini terlanjur mengambil mukim pada ruang gegap-gempita yang menuntut riuh? Hingga pada gilirannya kita begitu asing terhadap 'semestinya....' dan realitas di dalam hidup.
Syahdan, dengan ketidakpercayaannya terhadap nilai, Nietzsche dalam Beyond Good and Evil menafsirkan hidup sebagai hasrat untuk berkuasa. Tidak lebih! Baginya, korupsi merupakan ekspresi kekacauan dan eksploitasi diyakini sebagai sifat dasar dari segala sesuatu yang hidup. "Eksploitasi adalah konsekuensi dari kehendak nyata untuk berkuasa," tegas Nietzsche. Walhasil korupsi serta eksploitasi menjelma semangat universal yang berlaku untuk ia yang menjalani hidup. Dengan kata lain, ya sah-sah saja....
Hasrat itu sungguh manusiawi, tapi bisakah kita senantiasa khidmat hidup dalam situasi seperti itu? Saya yakin jawaban kita sama: yakni, tidak! Tidak, harusnya memang tidak, sekalipun untuk memenuhkan hasrat manusiawi, sebab adalah keliru ketika memutus kemanusiaan lainnya.
Pada titik ini agaknya kita tahu betapa merindukan hidupnya kemanusiaan yang tidak dianulir oleh pihak manapun, dalam skala apapun. Dan dari itu keragu-raguan ala Pyrho tidak diakomodir, juga Nietzsche bernasib sama: nada keputusasaan itu tidak diingat lagi, kecuali kalimat satirenya terkait Tuhan.
Beberapa orang lantas menyulap diri paling bisa memanusiakan manusia, tapi yang terlalu sering adalah mereka yang sedang mencari 'kuasa'. Dan memang itu yang paling menggairahkan: kemanusiaan dijadikan komoditi dalam kemasan 'teks x model x audio visual' untuk pasar media sosial, baliho, dan pelbagai tempat lain. Namun tidak hatinya sendiri.
Sejak itu saya mengerti, hidup bagi sebagian besar manusia, nampaknya memang untuk berkuasa. Hasrat berkuasa serta menguasai orang lain adalah tauladan tersendiri, sementara kemanusiaan memang sudah diracik jadi ketoprak humor. Dalam ketoprak humor, kelucuan memang sering muncul dari mereka yang saat 'pentas' begitu ngotot ingin disorot.
Itulah hidup dan gairah kekuasaan. Kemanusiaan, kini memang, di lain tempat yang pucat, kering dan merindukan pelukan hangat.
Saya selalu membayangkan kisah fiksi yang belum pernah saya tulis: Sambil bercermin, seorang pemabuk berkata, "siapa yang membunuh kemanusiaan, artinya perlahan membunuh Tuhan."[]
Gila mantab bener
BalasHapusTaqbir!
BalasHapus