Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Setelah Kekuasaan



Setelah menumpas White Walkers dan Cersei Lannister juga para kroninya beserta penduduk King's Landing yang tak berdosa, lalu apa? Setelah mayat-mayat dibakar, deklarasi kemenangan dikumandangkan Daenerys Targaryen, turunnya salju sekadar menutupi salju lain yang bercampur hangus darah. Semua harmonis, tetap dan seragam, kecuali ambisi Daenerys yang tak kunjung redam.

Bagi Daenerys, beda pemikiran berarti penghianat. Hadiah paling adil untuk penghianat hanyalah kematian. Yang mengesankan adalah, Tyrion Lennister --seorang penasihat cum ahli ideopolstratak, tangan kanan Ratu Daenerys-- sudah tidak mutaalistis dan dinilai mengancam: singkatnya, Tyrion yang, perawakannya cebol itu kini menjadi penghianat.

Sayangnya, tiba-tiba, plot bertempo cepat. Kita tahu pada suatu yang diburu-buru pasti hanyalah hasil dari ketidakseriusan. Tapi bukan sekadar permainan alur yang ingin kita tangkap, kan? Dan, ratu yang ambisius itu: Daenerys, dibunuh Jon Snow di depan takhta besi yang didongengkan --ia atau siapapun, dari atas takhta itu-- memberi instruksi agar kesejahteraan didistribusikan ke tiap daerah kekuasaan Seven Kingdom.

Setelah Daenerys, Brandon Stark --penguasa cerita di dunia fantasi itu-- naik takhta. Cerita perebutan kuasa atas pajak dan takhta serta pengkhianatan yang dibumbui masalah ranjang lengkap dengan selangkangan pun usai. Begitulah dongeng yang lahir dari alam pikiran Goerge R R Martin. Dongeng itu menghantam wajah perpolitikan yang saban waktu memuat agenda tikai.

Goenawan Mohamad menyebut Game of Thrones yang, berlatar dongeng anak-anak, mengisahkan tema orang dewasa dalam 'realpolitik'. Jelas itu bukan permainan metafora. Diakui atau tidak, dongeng George diam-diam (boleh jadi) kita aminkan: dalam kalimat persetujuan ataupun sikap ketidaksetujuan.

Itulah sihir realitas --meminjam apa yang diistilahkan Richard Dawkins. Dewasa ini, memang, antara realitas kehidupan dan realitas dongeng (fantasi, mitos dan mistik) memang seperti anak kembar. Kita seakan memandang 'wajah' yang sama di lain tempat. Pada almanak politik yang memuat iming-iming keteraturan, juga pada realitas yang diigaukan dalam karangan: keduanya, mempertontonkan bahwa tikai kekuasaan hanyalah soal lecutan onak agar 'orang-orang di luar lingkaran penguasa' siap berjalan 'sendirian'.

Tapi itu juga, mungkin, yang paling kita takuti: sendirian. Apa yang berkecamuk pun terjadi, 'bangunan' untuk merasa paling benar dan 'aku' lebih megah berdiri ketimbang wujud kasih. Meski sering tidak jujur, dengan segera kita tahu bahwa kekuasaan itu tidak permanen. Tapi, pada sesuatu yang tidak permanen itu, pengorbanan bukan sesuatu yang heroik. Malah menjadi wajib. Terutama mengorbankan nyawa, baik untuk orang-orang tidak ataupun yang mendukung kekuasaan. Kecuali 'orang dalam' lingkaran kekuasaan.

'Kekuasaan adalah takhayul, tapi pertalian antar manusia bukan,' kata Goen.

Jelas, kekuasaan sampai kini tidak menghasilkan apa-apa. Selama 'mesin produksi' itu berbahan bakar dendam dan ambisi, ia tak lain hanya mencetak kebengisan, kesumat dan serapah. Keteraturan jadi mustahil.

Kita masih bertanya-tanya: setelah kekuasaan, lalu apa?[]

Posting Komentar untuk "Setelah Kekuasaan"