Penyamun
Konon, di suatu negeri yang amat jauh, orang-orang tak pernah mimpi jadi penyamun. Meski mereka tahu berdamai adalah bentuk pertahanan terkuat, mungkin. Dari situ kita mengerti: di tengah masyarakat yang murung dan tidak punya pilihan, menjadi penyamun adalah sesuatu hal yang 'semestinya'.
Dan mati hanyalah soal giliran.
Tahun 845, di suatu hari yang durjana di sebuah Distrik Shingasihina, seorang Rabbi Pemuja Tembok bergumam tentang teks yang dihapalnya seumur hidup: 'tembok (pelindung) dibangun dengan pengetahuan Tuhan'; empat penjaga kota yang mabuk; dan sebaris pertanyaan dari seorang bocah pencari kayu bakar 'kalau kalian mabuk, apa kalian bisa bertarung?'
'Hah? Memangnya kenapa harus bertarung?' Harnnes, salah seorang penjaga itu terkejut di tengah kondisi mabuknya.
'Sudah jelas kan?' tegas Eren Jeager, 'ketika mereka (Titan) menghancurkan temboknya dan masuk ke sini!'
Detik itu pengakuan terjadi 'kami tidak tahu cara menghadapi para Titan' kata Harnnes. Manusia tidak pernah sepenuhnya siap, dan kepercayaan seketika itu runtuh. Dalam adegan itu, pilihan untuk bergabung menjadi garda penjaga nasib manusia adalah main-main. Manusia yang tidak siap itu 'tidak lebih' dari seorang penyamun: memeluk pilihan untuk hidup di ruang nyaman untuk ransum dan koin emas, serta tidur dalam timangan dan nina-bobo kerajaan.
Di dalam distrik yang dikelilingi tembok itu orang-orang bersiap untuk masa tua dan mengenang kematian. Juga tentang prajurit penjelajah yang pulang dari luar dinding distrik dalam wajah kesia-siaan: Titan teramat kuat dan tumpukan mayat di kereta kuda.
Tapi seorang bocah bernama Armin membaca sebuah dongeng tentang lautan. Dan dia --yang hidup bagai ternak di sebuah kungkungan dinding yang menjulang-- begitu ingin melihatnya. Lantas dongeng itu diceritakan pada temannya, secara sembunyi-sembunyi, sebab di negeri itu: negara yang gugup punya tangan besi yang siap menghabisi seluruh apa-apa saja ketika tak seirama dengan 'degub titah' kerajaan. Termasuk merawat mimpi untuk hidup mengembara jauh di luar dinding.
Adegan manga Jepang dalam Shingeki no Kyojin itu ditulis dan diilustrasikan Hajime Isyasama, mungkin memainkan simbolisme megalomania. Di satu sisi sebagian masyarakat mengimpi-impikan dunia luar dalam kondisi takut, dan di sisi satunya, sebagian masyarakatnya bermimpi untuk jadi pembasmi Titan dalam kondisi tak tau apa-apa untuk memertahankan hidup orang lain dan dirinya sendiri, termasuk Rabbi. Sementara kerajaan sibuk menumpuk ransum, memblokade akses berlindung ke ibu kota dan bacaan mengenai sejarah yang dilarang.
Tampaknya, kesenjangan kelas sosial belakangan ini berulang-ulang dipertontonkan. Baik dalam sebuah tulisan, pertunjukan teater, atau program realita di televisi, kecuali Rumah Uya.
Namun ada yang mesti dikhawatirkan di sini, saat kelas sosial yang berjarak itu sibuk dipertontonkan dan raung-ruang untuk mengakses informasi dibungkam, digiring serta diatur bagaimana 'masuk-keluar'nya, justru satu-satu orang jadi penyamun. Tapi yang fatal adalah kita tidak pernah sadar. Atau sadar, tapi, tak pernah mengakui.
Ironi memang. Tapi ironi selalu punya cela.
Maka, entah siapa yang memulai, tapi keragu-raguan dibisikkan banyak orang. Termasuk yang mendapat akses informasi lebih: generasi yang tidak dungu.
Dari generasi kini kita tahu: jadi penyamun soal waktu. Hari ini bisa kamu, besok bakalan dia, dan hari berikutnya kita bertemu dalam sebuah gua yang, saban hari menggaungkan 'tanpa mengambil hak orang lain, realitas takkan pernah lengkap'.[]
Posting Komentar untuk "Penyamun"