Suara
Tidak ada yang berkuasa penuh atas sesuatu. Termasuk saat jadi penguasa. Tapi, yang berkuasa, selalu punya cara untuk memutus apa-apa saja yang mengganggu kekuasaannya. Termasuk untuk memutus orang-orang yang sekadar menyuarakan pendapat. Maka penting untuk ada yang menjamin hal itu tetap berlangsung. Dan, di Indonesia mulai 1998 mengakomodir kepentingan tersebut; kebebasan berpendapat diakui, bahkan, termaktub dalam undang-undang.
Lalu, tuntaskah kemerdekaan bersuara?
Sepertinya belum. Sebab, menapaki ruang dan waktu dalam sebuah pertarungan ego kelas sosial (di Indonesia) tak sekadar urusan kutip-mengutip rujukan yang diakui keberadaannya. Sebab, kehidupan nyatanya selalu dilecut oleh pertentangan kelas, yang sibuk berebut hak, dan mungkin, tanpa pernah memikirkan kewajiban.
Aldi Irfan punya cerita yang sama: Ia hanya siswa menengah yang menulis kritik untuk sekolah tempatnya manuntut ilmu, bukan pemikir kaliber Sokrates. Tapi, 'yang berkuasa' pernah bersabda untuk tidak meluluskannya dari sekolah, meski belakangan Ombudsman NTB buru-buru melakukan evaluasi. Aldi kini lulus. "Karena dari dokumen yang kami pelajari ada kemungkinan maladministrasi,” ujar Sahabudin, Asisten Bidang Pelaporan Ombudsman NTB, pada Sabtu, 25 Mei 2019.
Apa yang nyata kemudian? Saya rasa tidak ada. Suara memang tidak pernah mendapat tempat, tidak merdeka, kecuali dalam teks yang berbau hak asasi dan suara buzzer. Selanjutnya, tamat. Begitulah nasib sebuah suara, ia diberangus saat 'berbeda' dan akan dibayar untuk dukungan.
Selalu ada rekayasa, katanya, maka celakalah kita yang latah menyoal beda gambar muka. Sedangkan, 'sosialisme', 'kapitalisme' seta isme-isme lainnya sibuk mematok petak wilayah kekuasaan atas dasar hitungan 'basis masa'. Mereka yang berbeda, dan tidak punya peranan penting untuk 'rebutan' pengaruh, akan jadi korban.
Jauh sebelum Aldi, ada Salim Kancil. Petani asal Desa Selok Awar-Awar yang mati di tangan orang-orang suruhan kepala desanya sendiri. Sebab, suara Salim dinilai parau oleh penguasa. Lobi-lobi terganggu. Dan suaranya harus 'dipotong'.
Tragis memang. Tapi, sayangnya, kenyataan demikian adanya dan kita hidup di tengah kebiadaban. Kendati seringnya kita dengar dari banyak khotbah bahwa jaman dimana adab mati telah berlalu. Ternyata hanya sebatas itu: kita sembunyi di balik suara.
Boleh jadi kita mesti tengok lagi teks undang-undang, sembari bertanya: lebih penting mana, kebebasan berpendapat yang ditulis atau dimerdekakakan? Kemerdekaan punya adab harusnya. Dan ternyata itu yang hilang dari kita yang biadab ini, adab.
Adakah daya untuk beradab? Dalam pertanyaan, kata-kata itu berdaya. Namun tidak cukup. Butuh keluasan untuk menerima 'suara' yang tajam dan siap menghujam. Suara, memang, butuh ruang. Dimana, di ruang itu suara-suara saling bertemu dan membangun frame alternatif yang tidak dicetak untuk kepentingan kekuasaan atau penguasa.
Pada titik tersebut, 'suara' tak boleh datang sebagai 'yang ngelus'--yang sok takzim penuh khidmat. Sebab kita selalu butuh suara lain pihak, untuk sekadar tahu sampai di mana tolok ukur beradab yang baik dan benar. Sebelum ada suara lain pihak yang berkata: sok syip.[]
Posting Komentar untuk "Suara"